SIFAT DAN HAKIKAT MANUSIA
Disusun oleh:
Ainur
Jefri
Iftitah
Eka
Malito
FAKULTAS PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS Abdurrahman Saleh
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.4.
Latar Belakang
Sasaran pendidikan adalah manusia.
Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan
potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan
untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan
tepat tujuan, jika pendidikan memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda
dengan hewan.
Ciri khas manusia yang membedakanya dari hewan terbentuk dari
kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan hakekat menusia. Disebut sifat
hakekat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia
dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidikan terhadap sifat hakekat
manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia dalam bersikap,
menyusun startegi, metode dan tekhnik serta memilih pendekatan dan orientasi
dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi edukatif.
Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan
mengenai hakekat manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga dapat dengan tepat
menyusun rancangan dan pelaksaaan usaha kependidikannya. Selain itu, seorang
pendidik juga harus mampu mengembangkan tiap dimensi hakikat manusia, sebagai
pelaksanaan tugas kependidikanya menjadi lebih professional
.
1.2
Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian latar belakang
diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah antara lain:
a) Apa yang dimaksud dengan sifat hakikat manusia?
b) Bagaimana wujud sifat hakikat manusia?
c) Bgaimana pengembangan wujud sifat hakikat manusia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
a) Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia.
b) Untuk mengetahui wujud sifat hakikat manusia.
c) Untuk memahami pengembangan wujud sifat hakikat manusia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian sifat dan hakikat manusia
Menurut ahli psikologi menyatakan bahwa
hakekat manusia adalah rohani, jiwa atau psikhe. Jasmani dan nafsu merupakan
alat atau bagian dari rokhani. Sifat hakikat manusia adalah ciri-ciri
karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan, meskipun
antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari segi
biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primat atau kera tapi ternyata gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primat atau kera tapi ternyata gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera.
Disebut sifat hakikat manusia karena secara haqiqi sifat tersebut
hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Karena manusia
mempunyai hati yang halus dan dua pasukannya. Pertama, pasukan yang tampak yang
meliputi tangan, kaki, mata dan seluruh anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk
kepada perintah hati. Inilah yang disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang
mempunyai dasar yang lebih halus seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut
kemauan. Pengetahuan dan kemauan inilah yang membedakan antara manusia dengan
binatang.
2.2 Sifat
Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai
ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan.
Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat
dari segi biologisnya.
Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakanmanusia itu Zoon
Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia
sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) (Drijarkara, 1962: 138) yang selalu
gelisah dan bermasalah.
Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang
keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu
suatu perbedaan yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya,
misalnya air karena perubahan temperature lalu menjadi es batu. Seolah-olah
dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang utan dapat dijadikan manusia.
Padahal kita tahu bahwa manusia mempunyai akal dan pikiran yang dapat dijadikan
sebagai perbedaan manusia dengan hewan.
2.3 Wujud Sifat Hakikat Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia
menjadi delapan, yaitu :
1.Kemampuan
Menyadari Diri
Menurut kaum rasionalis kunci perbedaan
manusia dengan hewan pada adanya kemampuan adanya menyadari diri yang dimiliki
oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh
manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau
karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan
aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik)
disekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan lebih dari itu manusia dapat
membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya. Sehingga mempunyai kesadaran
diri bahwa manusia mempunyai perbedaan dengan makhluk lainnya.
2.Kemampuan
Bereksistensi
Kemampuan bereksistensi yaitu kemampuan
menempatkan diri, menerobos, dan mengatasi batas-batas yang membelenggu
dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang,
melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelanggu oleh
tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus
ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri
dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena
manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada diri manusia terdapat
unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti
hewan dikandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di
muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63).
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta
didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu
keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu serta
mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.
3.Kata Hati
(Consecience Of Man)
Kata hati atau (Consecience Of Man)
sering disebut hati nurani, pelita hati, dan sebagainya. Kata hati adalah
kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi
manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati
merupakan “petujuk bagi moral/perbuatan”. Realisasinya dapat ditempuh dengan
melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki
keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4.Moral
Moral juga disebut sebagai etika adalah
perbuatan sendiri. Moral yang singkron dengan kata hati yang tajam yaitu
benar-benar baik manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral
yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati
yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral
yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral.
Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan
nilai-nilai yang tinngi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari
nilai-nilai yang tinggi. Moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang
baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat.
5.Tanggung
Jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat
dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang
bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermaam-macam yaitu tanggung jawab
kepada diri sendiri, kepada masyarakat, dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada
diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya penyesalan yang
mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
norma-norma sosial. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan
norma-norma agama misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.
Tanggung jawab yaitu keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu
perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dengan demikian tanggung jawab
dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan
sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
6.Rasa
Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak terikat
oleh sesuatu) yang sesuai dengan kodrat manusia. Kemerdekaan berkait erat
dengan kata hati dan moral. Yaitu kata hati yang sesuai dengan kodrat manusia
dan moral yang sesuai dengan kodrat manusia.
7.Kewajiban
dan Hak
Kewajiban merupakan sesuatu yang harus
dipenuhi oleh manusia. Sedangkan hak adalah merupakan sesuatu yang patut
dituntut setelah memenuhi kewajiban
Dalam realitas hudup sehari-hari, umumnya diasosiasikan dengan
sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban.
Tetapi ternyata kewajiban bukanlah menjadi beban melainkan suatu keniscayaan.
Realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jadi, meskipun setiap warga punya hak
untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia
belum memadai maka orang harus menerima keadaan relisasinya sesuai dengan
situasi dan kondisi.
8.Kemampuan
Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang
lahir dari kehidupan manusia. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai
himpunan saja, tetapi merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kepuasan dan
sejenisnya dengan pengalaman pahit dan penderitaan.
Manusia adalah mahluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat dengan lingkungannya, dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Manusia adalah mahluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat dengan lingkungannya, dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Kebahagiaan ini dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang
dapat dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil
usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai
peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan
keagamaan.
Dimensi-dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan
Dinamikanya
Berikut ini ada 4 dimensi yang akan dibahas, yaitu:
1.Dimensi
Keindividuan
Lysen mengartikan individu sebagai
“orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
(Lysen, individu dan masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah
dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti)
dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian
kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri
Belanda)yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J.
Langeveld, 1995:54). Bahkan anak kembar yang berasal dari satu telur pun, yang
lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu
dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini
berlaku baik dari sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya
(kerohaniannya). Karena adanya individualitas itu setiap oarang memiliki
kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang
berbeda.
2.Dimensi
Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi
sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld (M.J. Langeveld, 1955:54). Pernyataan
tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk
bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada
hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan
menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu
dipandang sebagai kunci sukse pergaulan. Adanyta dorongan untuk menerima dan
memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat
menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang kemudian sebagia
balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada
ibunya.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas
dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang
ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila
dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia. Karena
dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul
tersebut secara mutlak. Immanuel Kant seorang filosofis tersohor bangsa jerman
menyataknan: Manusia hanya menjadi manusia jika berada di sekitar
manusia. Kiranya tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain.
3.Dimensi
Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang
artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan
bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang
pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu
pengertian susila berkembangsehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan
yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang
mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan
persoalan hak dan kewajiban.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat yaitu:
a.Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya.
Etiket tidak bisa dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam
kehidupan.
b.Golongan yang memandang bahwa etiket dan etika perlu dibedakan,
karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu
berjalan. Kesopanan merupakan minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedangkan
etika merupakan isinya.
Di dalam uraian ini kesusialaan diartikan mencakup etika dan
etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada
hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta
melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki
nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakn nilai-nilai tersebit dalam perbuatan.
Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena
mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingg adapat
diyakini dan dijadikan pedoman dalam kehidupan.
4.Dimensi
Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk
religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah
percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantara alat indranya,
diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta
ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut
diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan
hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Ph.
Khonstam berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua
dalam lingkungan keluaraga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif
dan kata hati.
Pemerintah dengan berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke
dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita
V). Di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata
pelajaran agama ditingkatkan, namun harus tetap disadari bahwa pendidikan agama
bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang
agama. Jadi dari segi-segi afektif harus diutamakan.
2.4
Pengembangan Wujud Sikap Hakikat Manusia
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi
hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi
wujud kenyataan. Dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat
rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan
jasanya.seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan
untuk diproses menjadi seniman terkenal. Setiap menusia lahir dikaruniai
“naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan, seks, dan
mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya
dengan naluri maka ia tidak berbeda dengan hewan. Hanya melalui pendidikan
status hewani itu dapat diubah kea rah ststus manusiawi.meskipun pendidikan itu
pada dasarnya baik tetapi pelaksanaannya mungkin saja terjadi
kesalahan-kesalahan yang biasa disebut salah didik.
Hal tersebut dapat terjadi karena pendidik adalah manusia biasa
yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua
kemungkinan yang bias terjadi, yaitu :
1.Pengembangan yang utuh, dan
2.Pengembangan yang tidak utuh.
1.Pengembangan utuh
Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan
oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara
potensial dan kulitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan\ pelayanana
atas perkembangannya. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek
yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan
pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Pengembangan yang utuh dapat dapat dilihat dari berbagai segi
yaitu:
a.Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.
b.Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik.
2.Pengembangan
yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan
terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia
yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh
pengembangan dimensi keindividualan ataupun dominan afektif didominasi oleh
pengembangan dominan kognitif.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian
yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan
yang patologis.
2.5 Sosok
Manusia Seutuhnya.
Sosok manusia seutuhnya telah dirumuskan
dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangaka panjang. Dinyatakan bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Sosok manusia seutuhnya berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya
mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun
batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang
bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan
bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan
atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia
dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa,
dan keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna.
Manusia memiliki akal untukmenghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga
memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai
apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk
peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.
Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan
dalam diri manusia itu terdapat potensi–potensi terpendam yang dapat
ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
3.2 Saran
Sebagai calon guru kita seharusnya memperhatikan anak didik dan
memberikan bimbingan agar potensi–potensi terpendam yang terdapat dalam diri
peserta didik dapat ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, A. 2010. Manusia dan Pendidikan Hakikat
Manusia dan Pengembangannya. http://m-arif-am.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 03 Maret 2011.
Miranda, Dian. 2008. Hakekat Manusia dan
pengembangannya. http://dianmiranda.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 03 maret 2011.
Oddi. 2009. Wujud Hakekat Manusia. http://oddy32.wordpress.com. Diunduh pada tanggal 03
Maret 2011.
Rojib. 2009. Hakekat Manusia dan
Pengembangan Dimensinya. http://blog.beswandjarum.com.
Diakses pada tanggal 03 maret 2011.
Tirtaharja, Umar dan La Sula. 1994. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
0 komentar:
Posting Komentar